APAKAH PERANG BISA MENJAMIN TERCIPTANYA PERDAMAIAN?
Politik internasional yang erat kaitannya dengan kebijakan luar negeri selalu dipengaruhi oleh kepentingan nasional dan Negarawan selaku pengambil kebijakan dari suatu negara. Kebijakan luar negeri juga dipengaruhi bagaimana seorang negarawan bertindak dan menggunakan sebuah teori untuk diimplementasikan pada kebijakan luar negerinya. Salah satu dari sekian banyak teori yang ada untuk menjelaskan fenomena politik internasional yang kemudian sering disebut dengan hubungan internasional adalah Realisme. Salah satu tokoh pemikirnya adalah Morgenthau. Morgenthau dalam bukunya Politics among Nations menulis bahwa “ Tujuan yang baik belum tentu bisa menjamin konsekuensi politik yang baik pula”. Morgenthau juga menekankan pentingnya melihat ‘human nature’ dalam diri manusia. Dia mengambil contoh ketika Neville Chamberlain, selaku Perdana Mentri Inggris menerapkan kebijakan appeasement (penenangan) untuk menurunkan ketegangan di Eropa setelah Perang dunia I berakhir. Pada saat itu, Jerman sebagai pihak yang kalah perang merasa sangat dirugikan karena dibebankan hutang untuk membayar seluruh kerugian perang dan angkatan militernya dibatasi hanya 500.000 personel. Merasa tidak diperlakukan secara adil oleh negara-negara Eropa lain, terutama Prancis dan Inggris sebagai pihak yang menang perang, Jerman pun meningkatkan teknologinya dalam hal persenjataan perang, belum lagi paham Nazi yang dibawa oleh Hittler diterima dan didukung oleh rakyat Jerman sendiri. Ini mengindikasikan bahwa Jerman siap untuk menghadapi perang dunia lagi untuk mencapai tujuannya menguasai Eropa kembali. Kesalahan yang dilakukan oleh Neville Chamberlain adalah mengabaikan ‘human nature’ yang dimiliki oleh Jerman pada saat itu, maka berakibat meletusnya perang dunia II. Sesuai dengan teori Realisme yang mengatakan bahwa setiap aktor selalu rasional dalam tindakannya, maka moral tidak bisa dijadikan tolak ukur apakah itu akan menghasilkan konsekuensi politik yang baik. Konsekuensi politik hanya bisa diukur dari akal, keinginan, dan tindakan setiap aktor.(Morgenthau, 1967; 6)
Keadaan dunia, khususnya Eropa pada masa perang dunia I dan II selalu diliputi rasa ketidakpercayaan antar sesama aktor. Negara sebagai aktor utama menurut Realisme, cenderung untuk berkonflik karena rasa ketidakpercayaan antar sesama aktor tersebut, sehingga jarang terjalin kerjasama yang saling menguntungkan, yang ada hanya lah bagaimana untuk mencapai kepentingan nasional dan melindungi kepentingan nasional dengan caranya sendiri-sendiri. Kepentingan itu sendiri didefinisikan sebagai power yang bisa memaksakan keinginan suatu aktor. Pertanyaan kritis yang kemudian muncul ialah apakah perang memang suatu cara untuk mencapai kedamaian? Kalau perang didefinisikan sebagai tindakan untuk memaksakan suatu aktor tunduk kepada kita atau dengan kata lain untuk tujuan imperialisme, maka perang tersebut bukan lah cara untuk mencapai kedamaian, malah akan menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat yang diperangi sekaligus melanggar hak asasi manusia untuk dapat hidup bebas dari segala bentuk penjajahan. Jika perang dimaksudkan sebagai usaha politik dengan cara penggunaan militer (kekerasan) demi menjaga Balance of Power (BOP), bukan untuk meningkatkan kekuasaan mungkin bisa diterima (Sayidiman Suryohadiprojo, 2005;57).
Selalu ada saja negara yang ingin menguasai negara lain. Ini sesuai dengan ‘human nature’ yang telah disebut sebelumnya. Dalam kasus perang dunia II yang dimulai oleh Jerman di Eropa, tujuan Jerman memulai perang adalah untuk meningkatkan kekuasaannya di Eropa Barat. Neville Chamberlain seharusnya menyadari bahwa peningkatan teknologi persenjataan Jerman dapat mengganggu BOP yang ada pada saat itu. Oleh karena itu, untuk menjaga perdamaian dan BOP yang sudah ada tersebut, Dia seharusnya juga telah bersiap untuk perang. Konsep ini dinamakan “Civis Pacem Para Bellum” (jika ingin damai maka harus siap perang).
Oleh karena tidak ada satu negara yang dapat menjamin negaranya tidak akan dikuasai oleh negara lain, maka peningkatan teknologi persenjataan yang bisa mengancam negara lain yang ingin mencoba menyerang suatu negara, kesiapan tentara nasional dalam mempersiapkan situasi perang di masa damai, dan memiliki kekuatan diplomasi yang mempunyai posisi tawar (bargaining position) adalah cara untuk mengimbangi kekuatan negara lain sekaligus mencegah negara lain untuk meningkatkan kekuasaannya.
Mencegah perang terjadi juga bukan pilihan yang bijak bagi negarawan, sejarah telah membuktikannya pada perang dingin. Perang yang diakibatkan oleh perbedaan ideologi, yang mana Uni Sovyet berideologi komunis dan AS yang berbangga hati dengan ideologi kapitalisme-liberalisme yang di usungnya, dimenangkan oleh pihak AS dan sekutunya tanpa harus berperang mengandalkan rudal balistik dan nuklir. Uni sovyet yang merupakan negara besar dan adikuasa ternyata ambruk tanpa ada serangan fisik militer AS dan sekutu. Segala kehebatan kekuatan pertahanannya berupa organisasi kekuatan nuklir yang kemampuannya seimbang dengan AS serta organisasi militer dengan dengan kemampuan konvensional yang bahkan lebih besar dari milik AS, tidak mampu berbuat sesuatu untuk mencegah keambrukan itu. AS menggunakan Regime Change untuk memenangkan perang ini (Sayidiman Suryohadiprojo, 2005;295). Regime Change adalah kemampuan menggantikan pimpinan negara dengan orang-orang yang sepenuhnya mengikuti kehendak AS atau dapat dikendalikannya. Memang AS berusaha keras menempatkan orang-orang seperti itu di Irak untuk menjatuhkan Saddam Husein ketika ia masih berkuasa. Akan tetapi semua usaha itu gagal. Perang pun menjadi satu-satunya jalan. Akhirnya bisa disimpulkan bahwa mencegah terjadinya perang dengan tidak siap untuk berperang ataupun lemah dalam menjaga Nasionalisme bangsa sendiri dapat mengakibatkan ambruknya suatu negara.
Penulis melihat, Jikalau Civis Pacem Para Bellum dikondisikan sebagai suatu keadaan yang ingin menjaga perdamaian dengan selalu siap untuk mengantisipasi peperangan, bukan untuk perang yang destruktif apalagi bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan, maka argumen ini dapat diterima. Setidaknya terdapat 3 kekuatan yang mendukung argumen ini ; Pertama ialah mencegah negara lain untuk meningkatkan kekuasaannya, baik itu dengan perang maupun dengan cara non-perang seperti Regime Change. Kedua ialah memotivasi perjuangan setiap bangsa untuk tidak mau dijajah, dibarengi dengan kemampuan melaksanakan fungsi pertahanan dan diplomasi yang kuat terhadap negara lain, yang pada akhirnya bisa menjamin tercapainya perdamaian tersebut. Terakhir yang tidak kalah penting adalah argumen ini menjelaskan kepada semua negarawan, dalam struktur dunia yang Anarkhi, dimana semua negara seimbang dan boleh mengambil peranannya masing-masing sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, maka tidak boleh lagi ada negara yang berobsesi untuk meningkatkan kekuasaannya. Selain kekuatan, argumen ini juga memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan yang dapat dilihat dari argumen ini adalah jika terdapat satu negara yang memiliki entitas politik yang teramat kuat dan nyata-nyata tidak dapat diimbangi oleh negara manapun, dapatkah negara ini dipercaya sebagai penjaga perdamaian di dunia? Akankah negara tersebut bisa menjamin power yang dimilikinya hanya untuk melindungi negara lain yang lebih lemah darinya? Apakah kedamaian bisa diartikan bahwa dimana terdapat situasi yang tidak ada perang di suatu negara tetapi negara tersebut dikendalikan oleh power negara lain yang lebih besar daripadanya, padahal nyata-nyata itu tidak sesuai dengan keinginan bangsa yang dikendalikan tersebut? Jika menilik pada fakta, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut mengarah pada AS yang menghendaki tatanan dunia baru dengan AS sebagai pemimpinnya. Civis Pacem para Bellum belum menjelaskan secara terperinci bila situasi tersebut memang benar-benar tercapai, maka bagaimana selanjutnya untuk menyikapi hal tersebut? Sebagai contoh dapat dilihat dari invasi Amerika ke Irak pada tahun 2003. Memang AS berhasil memenangkan operasi militer konvensional dengan cepat, tetapi setelah itu tidak dapat memenangkan perangnya. Untuk memenangkan perang, AS harus dapat memenangkan secara damai, dan disitu AS gagal. Hingga sekarang AS dengan dukungan sekutunya belum berhasil menciptakan Irak baru sesuai dengan kehendaknya. Belum lagi sikap AS yang selalu mendukung Israel dalam mencegah negara Palestina berdiri dan mendukung Israel sebagai satu-satunya power yang bisa menjaga BOP di Timur Tengah, tentunya kedamaian yang ingin dicapai harus sesuai dengan versinya Israel seperti; kembalinya kejayaan bangsa Yahudi dan pembangunan kompleks pemukiman Yahudi untuk menjamin eksistensi bangsa Yahudi itu sendiri. Kalau ini bisa terjadi, maka bukan seperti inilah kedamaian yang hakiki yang ingin dicapai dari Civis Pacem Para Bellum tersebut.
Memang tujuan politik seringkali berkebalikan dengan konsekuensi politik yang diambil, tetapi demi mewujudkan tatanan dunia yang damai sesuai dengan keinginan setiap bangsa, semua substansi dari Realisme seperti; negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional, aktor selalu berpikir dan bertindak secara rasional, aktor selalu berusaha mengejar kepentingannya dengan power yang dimilikinya meskipun dengan cara berkonflik dengan aktor lain, serta obsesi untuk meningkatkan kekuasaan demi untuk mendapatkan pengaruh dari aktor-aktor lain perlu dimengerti secara komprehensif dan dikaji ulang dengan tidak meniadakan rasa-rasa keadilan, persamaan, dan nilai/norma (value). Dengan pencapaian yang diharapkan tersebut, tidak mustahil kedamaian hakiki yang didambakan setiap bangsa akan tercapai pula.
Bahan Bacaan :
1.Morgenthau, Hans. Politics among Nations fourth edition. 1967. Alfred A. Knoff, INC: United States.
2.Suryohadiprojo, Suryadiman. Membanun Pertahanan Negara yang Modern dan Efektif. 2005. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
3.Djafar, Zainuddin dkk. Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. 1996. PT. Dunia Pustaka Jaya: Jakarta.
4.Nye, Joseph S. Understanding Internastional Conflict ; An Introduction to Theory and History Seventh Edition. 2009. Harvad University; United States.
5.Bandoro, Bantarto. Mencari Desain baru Politik Luar Negeri Indonesia. 2005. CSIS; Jakarta.